Covid-19 dan Empati Rakyat

COVID-19 DAN EMPATI RAKYAT

Oleh : Qurasun Shieldhy S.H.

 

Siapa sangka Indonesia akan sekacau ini. Covid-19 atau virus corona yang muncul di Wuhan, China, akhir tahun 2019 telah sampai di Indonesia awal bulan maret lalu. Indonesia merupakan salah satu negara yang tenang dalam menyikapi wabah korona ini saat negara lain mulai menerapkan tindakan tegas untuk melindungi warga negaranya. Statemen dari pihak pemerintah yang terkesan meremehkan virus corona ini, kini telah menjadi bumerang bagi seluruh warga negara dan pemerintah itu sendiri. Indonesia kini sedang kuwalahan dalam menghadapi penyebaran virus corona. Banyak aspek yang menyebabkan kerja-kerja pemerintah dalam menghambat penularan korona ini sangat lambat. Minimnya pengetahuan dan  kesadaran masyarakat terhadap virus corona ini menjadi kendala besar dalam melaksanakan upaya pemerintah. Semenjak ditetapkannya wabah ini sebagai bencana nasional pada tanggal 14 maret 2020, langkah dari pemerintah dalam penanganan covid-19 masih sekedar himbauan. Pro kontra yang terjadi dibeberapa elemen masyarakat terkait penanganan wabah corona hanya menjadi komedi ditengah kekacauan negeri ini.

Langkah untuk meminimalisir penyebaran virus ditetapkan pemerintah dengan menghimbau masyarakat untuk melakukan karantina diri dirumah masing-masing, atau di kenal dengan work from home (WFH). Langkah teresebut dinilai efektif untuk mengurangi penyebaran virus corona. Namun, work from home dianggap merugikan bagi masyarakat yang pendapatannya harian. Sehingga masih banyak masyarakat yang tidak mengindahkan WFH demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Melihat kondisi yang semakin memburuk, dengan bertambahnya korban setiap harinya, isu untuk diterapkannya lockdown mencuat menjadi perbincangan oleh beberapa pihak.

Lockdown, atau karantina wilayah secara total menjadi pilihan yang diperdebatkan oleh beberapa kalangan mulai dari elit pemerintah hingga para aktivis kesehatan. Beberapa pihak menilai bahwa Indonesia belum siap untuk lockdown, hal tersebut didasari karena Indonesia belum siap bila terjadi penurunan ekonomi. Beberapa pihak yang lain mendukung untuk dilaksanakan lockdown, karena dianggap dapat memutus tali penyebaran virus dengan cepat. Bila lockdown diterapkan maka negara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pokok rakyat, sebagaimana yang tertera pada Undang-undang tentang kekarantinaan pasal 6 yang berbunyi “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap ketersediaan sumber daya yang di perlukan dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan” dan untuk hak rakyat tertera pada pasal 8 yang berbunyi “Setiap orang mempunyai hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan dan kebutuhan sehari-hari”. Bunyi pasal 8 diperkuat pada pasal 55 yang berbunyi “Selama dalam karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat”.

 Akhirnya pemerintah pada tanggal 30 Maret 2020 memutuskan untuk mengambil kebijakan pembatasan sosial bersekala besar atau PSBB melalui penyampaian Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Presiden menyampaikan bahwa beliau meminta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing lebih tegas, lebih disiplin dan lebih efektif lagi, sehingga perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil. Namun, kebijakan yang diambil disambut negatif oleh beberapa pihak. “Penerapan PSBB dianggap upaya lepas tanggung jawab pemerintah terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat bila merajuk pada UU Kekarantinaan Kesehatan pasal 59” ujar Chairul Anam Komisioner Komnas HAM sebagaimana dikutip di laman Tirto.id. Penerapan PSBB telah diterapkan dibeberapa wilayah yang terpapar wabah virus corona seperti DKI Jakarata yang terkonfirmasi oleh Menkes pada tanggal 7 April dengan dikeluarkannya Kepmenkes Nomor HK.01.07/Menkes/239/2020.

Momentum Covid-19 dan gerakan empati rakyat

Terhitung satu bulan setelah ditetapkannya wabah korona ini sebagai bencana nasional, korban yang terkena wabah ini telah mencapai 4.839 orang positif, 426 orang sembuh dan 459 orang meninggal. Korban yang terdampak tidak hanya masyarakat biasa, garda terdepan seperti dokter dan perawat yang menangani korban juga terpapar dan gugur dalam tugas. Momen korona ini menajdikan masyarakat saling bahu membahu membantu warga yang terdampak. Kondisi yang serba menegangkan ini ternyata masih ada oknum yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan dengan menimbun masker, atau memborong masker yang tersedia, sehingga terjadi kelangkaan masker. Kebutuhan akan masker dan ADP setiap harinya semakin menipis, sedangkan alat tersebut sangat di butuhkan oleh dokter dan perawat yang menangani wabah korona ini. Melihat kondisi seperti itu, masyarakat berbondong-bondong mengumpulkan dana untuk membeli masker dan APD. Masker dan APD yang terkumpul kemudian disumbangkan untuk petugas penanganan Covid-19.

Penerapan Work From Home yang dicanangkan pemerintah menjadikan beberapa usaha kecil harus ditutup sementara untuk memutus penyebaran virus korona. Selain penutupan usaha sementara, PHK buruh terjadi di beberapa perusahaan, hal tersebut dilakukan untuk meminimalisir kerugian akibat dampak wabah korona. Banyaknya masyarakat yang mengalami kerugian akibat wabah ini. Beberapa Influencer dan Ormas mulai menginisiasi penggalangan dana untuk membantu masyarakat yang membutuhkan. Bantuan yang di berikan berupa kebutuhan pokok harian hingga uang tunai. Tindakan tersebut didasari oleh rasa empati masing-masing orang untuk membantu orang lain. Sehingga wabah korona ini dapat dijadikan momen untuk pembelajaran rasa empati terhadap orang lain kepada anak-anak atau orang dewasa. Selain memberi bantuan rasa empati yang dapat ditunjukan yaitu dengan tetap menjaga diri dari kerumunan dan setuhan fisik yang memungkinkan terjadi penularan virus korona.

Shared:
Artikel