Hiruk-Pikuk Pembebasan Napi Ditengah Pandemi Covid-19

HIRUK-PIKUK PEMBEBASAN NAPI DI TENGAH PANDEMI COVID-19

Oleh : Ananda Ulima Islamey, S.TP.

 

Corona Virus Diseaseatau yang lebih dikenal dengan COVID-19 telah menjadi pandemi yang mewabah hampir di seluruh belahan dunia. Sejak pemerintah mengkonfirmasi perihal adanya pasien positif COVID-19 di Indonesia pada Februari lalu, data statistik Kementerian Kesehatan menunjukkan peningkatan jumlah pasien yang bertambah cukup signifikan setiap harinya. Hal ini menjadikan pemerintah pusat hingga daerah merumuskan berbagai kebijakan dan himbauan dalam rangka memutus persebaran COVID-19 di negeri ini. Tidak sedikit dari kebijakan dan himbauan tersebut yang membuat negara-negara lain berhasil menekan angka persebaran dan bertahan di tengah pandemi.

Salah satu kebijakan pemerintah yang menyita perhatian publik belakangan adalah keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, memberikan pembebasan dengan asimilasi dan integrasi kepada lebih dari 30.000 narapida umum dan anak di seluruh Indonesia melalui Keputusan Menteri (Kepmen) Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Penanggulangan Penyebaran COVID-19. Meski pelaksanaan peraturan tersebut sempat menuai polemik ketika Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia menyisipkan wacana pembebasan yang juga diperuntukkan bagi narapidana kasus korupsi. Namun, setelah mendapat reaksi keras publik juga beberapa lembaga serta organisasi masyarakat pemerhati hukum dan korupsi, wacana tersebut dibantah dan diluruskan oleh Presiden Joko Widodo.

 Keputusan Menteri (Kepmen) Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Penanggulangan Penyebaran COVID-19 ini, menurut Yasonna, diambinya berdasarkan nilai kemanusiaan dengan mempertimbangkan kapasitas sebagian besar rumah tahanan (rutan) di Indonesia yang over capacity. Keadaan yang jelas berbanding terbalik dengan himbauan pshysical distancing yang lebih dahulu ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Menurutnya, bukan tidak mungkin penyebaran COVID-19 masuk ke lingkungan lembaga pemasyarakatan dan dengan padatnya kondisi di dalam lembaga pemasyarakatan akan meningkatkan resiko penularan COVID-19 antar sesama narapidana.

Persoalan kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan bukanlah temuan baru di negara ini. Data menunjukkan total kapasitas seluruh lembaga pemasyarakatan di Indonesia yang seharusnya diperuntukkan bagi 130.000 narapidana kini dihuni lebih dari 270.000 narapidana. Contohnya saja Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, dengan kapasitas 850 narapidana per-April 2020 telah dihuni oleh 3.900 narapidana. Over capacity tidak hanya terjadi di lembaga pemasyarakatan umum, hal yang serupa juga dapat kita jumpai di lembaga pemasyarakatan khusus wanita. Salah satu diantaranya yaitu Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Malang yang berkapasitas 160 narapidana harus disesaki hingga 630 narapidana dan daftar panjang lembaga pemasyarakatan lainnya yang juga terbeban oleh keprihatinan yang sama.

Jika dilihat dari alasan diatas, kebijakan asimilasi narapidana terlihat masuk akal dan dapat diterima. Namun, disisi lain kebijakan ini juga berpotensi menimbulkan dampak negatif yang menuai gejolak ditengah masyarakat. Tidak semua narapidana mendapatkan ‘kesempatan emas’ ini, hanya narapidana anak, lanjut usia serta narapidana yang telah menjalankan dua per tiga masa tahanan yang berhak mendapatkan keistimewaan ini. Narapidana kasus narkotika yang termasuk dalam katagori pidana khusus misalnya, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan mensyaratkan narapidana kasus pidana khusus untuk bersedia menjadi  justice collaborator ­atau bekerjasama dengan penegak hukum membongkar kejahatannya jika ingin mendapat peluang hak-hak tertentu, salah satunya remisi dan pembebasan bersyarat. Kebijakan pemberian asimilasi ditengah pandemi tidak menutup kemungkinan akan menyulut kecemburuan sosial bagi narapidana yang tidak mendapatkan kesempatan tersebut.

Kebijakan pembebasan bersyarat bagi seseorang yang telah melakukan tindak pidana bukanlah persoalan sederhana. Selain membutuhkan pertimbangan justifikasi yang tepat, implikasi lanjutan setelah narapidana berada di luar lembaga pemasyarakatan menjadi permasalahan yang harus dipertimbangkan. Mengingat jumlah narapidana yang dibebaskan mencapai angka puluhan ribu dan jangka waktu berlangsungnya pandemi yang tidak dapat diprediksi secara pasti. Kekhawatiran yang senada diungkap oleh seorang peneliti senior bidang kejahatan terorganisasi dan kepolisian, United Service Institute di Inggris, Keith Ditcham. Lewat pernyataannya ia menyebutkan bahwa semakin lama pandemi ini berlangsung, semakin luas dampak negatifnya pada berbagai aspek sehingga akan menimbulkan keputusan-keputusan yang lebih berani hingga mengarah pada pembebasan narapidana yang lebih berbahaya. Upaya penegakan hukum akan turut berjalan mundur dengan margin yang signifikan.[1]

Dampak Negatif Disana-sini

Kekhawatiran publik dan peringatan pakar hukum terkait resiko pengambilan keputusan pembebasan narapidana di tengah pandemi agaknya tidak berlebihan. Terbukti, beberapa hari setelah pembebasan narapidana dilaksanakan, tepatnya Sabtu 11 April 2020 terjadi kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tuminting, Manado, Sulawesi Utara. Menurut sumber, kerusuhan tersebut bermula ketika narapidana kasus narkotika khawatir tertular COVID-19 sementara mereka tidak mendapat jatah pembebasan melalui asimilasi dan integrasi.[2] Narapidana yang tersulut emosi melakukan penyerangan terhadap petugas dan pihak kepolisian dengan melempari mereka dengan batu. Tidak hanya itu, para narapidana juga membakar barang-barang yang ada di bangunan Lembaga Pemasyarakatan hingga terjadi kebakaran yang cukup besar. Tidak kurang 2.000 personel gabungan disiagakan untuk menanggulangi kerusuhan tersebut.[3]

Dampak negatif lain yang mendera masyarakat adalah munculnya narapidana asimilasi yang kembali mengulang aksi kejahatannya. Menurut keterangan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigadir Jendral Argo Yuwono, tercatat 13 narapidana yang mendapat hak asimilasi dan integrasi kembali berulah setelah bebas dari tahanan.[4] Setidaknya ada 4 kemungkinan yang menyebabkan narapidana asimilasi dan integrasi kembali berulah, yaitu :

1.      Tidak Ada Efek Jera

Hukuman yang dijalani narapidana cenderung bersifat represif dimana pelaku kejahatan akan mendapatkan tekanan dan pengucilan dari keluarga, rekan hingga masyarakat. Sementara di dalam Lembaga Pemasyarakatan, terkadang mereka dapat bergaul dengan baik antar narapidana, jatah makan diberikan secara rutin serta hal-hal lain yang dirasa memudahkan hidupnya sehingga sanksi penjara tidak memberikan efek jera.

 

2.      Kebijakan yang Minim Persiapan

Umumnya, narapidana yang akan dibebaskan terlebih dahulu melalui proses moderasi guna mempersiapkan mereka untuk beradaptasi dengan dunia luar atau masyarakat. Nantinya ketika narapidana kembali ke masyakarat, akan ada norma-norma atau nilai-nilai ditengah masyarakat yang harus diterima dan dilakukan. Sehingga mereka membutuhkan berbagai persiapan, mulai dari persiapan hukum, budaya, ekonomi, fisik, mental hingga spritual. Serangkaian persiapan inilah yang dimediasi oleh Lembaga Pemasyarakatan. Adanya kebijakan yang terkesan tiba-tiba diberlakukan karena alasan kemanusiaan memunculkan peluang belum terselesaikannya proses persiapan tersebut sehingga ketika kembali ke masyarakat, mantan narapidana berpotensi melakukan ketidak patuhan atas norma dan nilai yang ada.

 

3.      Tidak Memiliki Pekerjaan dan Uang

Narapidana yang harus menjalani masa tahanan dalam kurun waktu tertentu menjadikan mereka tidak memiliki pekerjaan atau mata pencaharian. Tidak jarang, narapidana dengan taraf hidup menengah ke bawah tidak memiliki tabungan atau jaminan finansial. Ketika mereka kembali ke masyarakat bukanlah perkara mudah untuk dapat diterima kembali pun untuk langsung mendapat pekerjaan. Stigma negatif masyarakat seringkali menggiring mantan narapidana dalam situasi terpepet hingga melakukan tindak kejahatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan mendapat pengakuan kembali. Fakta ini diperparah mengingat pandemi COVID-19 memberikan dampak yang sangat besar dan luas pada laju perekonomian negara ini. Sehingga faktor pendorong untuk melakukan tindak kejahatan menjadi lebih kuat.

 

4.      Sifat yang Telah Mengakar

Selain faktor-faktor eksternal diatas, salah satu penyebab seseorang tidak merasakan efek jera ketika mendapat hukuman adalah karena sifat bawaan dan karakter individu atau karena ia hidup ditengah lingkungan dan teman-teman yang terbiasa melakukan tindak kejahatan. Dengan begitu, ia akan merasa mendapat dukungan dan semakin menguatkan alasan pembenar atas hal-hal buruk yang dilakukannya selama ini.

 

Pada beberapa kasus di berbagai belahan dunia termasuk juga Indonesia, penjara tidak menjadi momok yang menakutkan. Sebaliknya, dengan segala fasilitas yang ada, penjara menjadi ‘sekolah kriminal’. Lingkup pergaulan sesama narapidana tidak menutup kemungkinan menghadirkan pembelajaran kriminalitas yang akhirnya menjadi modal sosial kriminal saat mereka dibebaskan. Hal inilah yang hingga saat ini masih menjadi PR besar bagi lembaga pemasyarakatan hingga pejabat pengambil kebijakan. Hal ini semakin diperparah dengan stigma negatif masyarakat terhadap mantan narapidana, terlebih banyak yang berakhir menjadi residivis karena tuntutan hidup.

Bila ditinjau dari aspek-aspek tersebut, tentu sisi musibah dari penerapan kebijakan ini menjadi sangat dominan, walaupun telah dipertimbangkan sisi kemanusiaannya. Kendati keputusan pemerintah ini menuai banyak kecaman, hingga kini total 38.822 narapidana telah dibebaskan.[5] Masyarakat tentu menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab atas hal ini. Sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah sebagai pihak yang berwenang dalam mengambil kebijakan untuk lebih selektif dan mempertimbangkan dengan sebaik-baiknya pun memastikan bahwa kebijakan yang akan ditetapkan merupakan langkah yang tepat dan dapat dipertanggung jawabkan. Sebelum kebijakan tersebut ditetapkan seharusnya dilakukan evaluasi terlebih dahulu dengan mempertimbangkan pula alternatif kebijakan selain pembebasan dari tahanan.

Keputusan yang terkesan mendadak akan mengakibatkan kurangnya persiapan yang dilakukan oleh pihak lembaga pemasayarakatan sebelum akhirnya narapidana diputuskan untuk bebas. Sebagaimana mekanisme hukum yang berlaku, narapidana terlebih dahulu diberikan konseling dan pembekalan untuk kembali hidup bermasyarakat yang bertujuan agar narapidana yang dibebaskan mampu mengatasi problematika sosial yang mungkin terjadi ketika kembali ke masyarakat. Dengan demikian, setidaknya narapidana akan memiliki pegetahuan dan kemampuan untuk menghadapi stigma masyarakat terhadap dirinya. Hal ini juga penting untuk membangun kepercayaan diri dan membentuk konsep diri positif untuk bertahan hidup.

Narapidana juga manusia dan warga negara yang tentu membutuhkan persiapan baik secara moral dan finansial. Untuk itu, pemerintah harus memastikan ketersediaan lapangan kerja bagi yang bersangkutan, karena jika tidak maka narapidana yang bebas akan kesulitan untuk bertahan hidup sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Terlebih tingginya tuntutan kompetensi sebagai syarat bekerja juga rumitnya proses rekrutmen akan semakin membebani di kemudian hari. Tak kalah penting, dukungan moral terutama dari keluarga yang bersangkutan sangat diperlukan. Narapidana tentu butuh waktu untuk kembali berbaur dengan masyarakat, terutama narapidana dengan masa tahanan yang cukup panjang. Masyarakat sebaiknya mulai membangun stigma dan sikap positif yang mampu menjadi stimulus bagi narapidana agar termotivasi untuk berkelakuan sesuai norma dalam masyarakat.



[1]J61, Prahara Lepas Penghuni Lapas, http://www.pinterpolitik.com, diakses pada 18 April 2020 Pukul 22.09 WIB

[2]Abu Sahma Pane, Pro dan Kontra Asimilasi Narapidana di Tengah Wabah Corona, http://www.okezone.com, diakses pada 18 April 2020 Pukul 23.51 WIB.

[3]Ika Nur Cahyani, Fakta Kerusuhan Lapas Tuminting Manado, Napi Takut Corona hingga 20 Terduga Provokator Ditangkap, http://www.m.tribunnews.com, diakses pada 19 April 2020 Pukul 00.01 WIB.

[4]Andita Rahma, Polisi Tangkap 13 Napi yang Jalani Asimilasi dan Kembali Berulah, http://nasional.tempo.co, diakses pada 19 April 2020 Pukul 12.00 WIB.

[5]Muhammad Yasin, Dampak Negatif Pembebasan Napi Harus Diantisipasi, http:// hukumonline.com, diakses pada 22 April 2020 Pukul 19.08 WIB.

Shared:
Artikel