LUKA PENDIDIKAN TANAH AIR

LUKA PENDIDIKAN TANAH AIR

Oleh: Nur Hidayati

Indonesia adalah bangsa yang gagah dengan bermacam suku, agama, budaya dan bahasa. Pendidikan yang cerah disetiap pelosoknya adalah impian tanah air kita. Sayangnya penulis ragu jika Ki Hajar Dewantara,  R.A. Kartini, KH. Ahmad Dahlan dan sederet pahlawan pendidikan lainnya akan tersenyum dengan melihat kondisi pendidikan miris saat ini. Mengingat tiga jargon masyhur dari Bapak Pendidikan yakni Ki Hajar Dewantara yang berbunyi Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Seluruh penjuru tahu bahwa anak adalah aset bangsa yang akan memimpin negeri kita. Jika pendidikan tidak dijadikan sebagai akar, maka akan dibawa kemana Indonesia?

Kita perlu membenahi kualitas pendidikan karena terekam tahun 2018 oleh The Organisation for Economic Co-operation (OECD) dalam tes Programme for International Student Assessment (PISA) bahwa Indonesia berada di peringkat ke-13 dari total 15 negara di Asia. PISA konsisten melakukan tes selama tiga tahun sekali sejak tahun 2000 dan menakar pengetahuan siswa dalam bidang matematika, sains dan membaca. Selain itu, Pendidikan kita tertinggal bahkan dengan negara yang lebih miskin. Sebenarnya apa penyebab ketertinggalan pendidikan Indonesia yang telah 74 tahun merdeka?. Menurut penulis ada beberapa masalah mendasar yakni kurikulum, pemerataan guru dan kualitas pendidik.

Pertama adalah kurikulum, pengertian kurikulum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) adalah perangkat mata pelajaran yang diajarkan pada lembaga pendidikan. Kurikulum di Indonesia terlalu kompleks dengan lebih mengedepankan pemahaman intelektual sementara soft skill peserta didik kurang diperhatikan, sehingga pekerjaan guru semakin menumpuk dan kurang optimal dalam mengajar. Meskipun pada kenyataannya peserta didik masih kurang paham dengan materi yang disampaikan, guru terpaksa melanjutkan proses pengajaran karena yang dikejar adalah target, bukan tingkat pemahaman peserta didik. Selain itu, peserta didikpun akan terbebani dengan berbagai materi yang harus dikuasai bahkan dihafal, sehingga mereka hanya memahami sepintas dari seluruh materi yang ditargetkan. Hal ini mengakibatkan minimnya pengetahuan dan penyaluran potensi peserta didik. Bicara mengenai kurikulum, sudah tidak asing lagi bahwa kurikulum Indonesia cenderung berganti nama tanpa mengubah esensi, pemerintah kurang merata dalam melakukan survei terhadap kebutuhan peserta didik, kebutuhan teknologi dan kesesuaian sosial-budaya sebelum diterapkannya kurikulum baru. Meskipun akhr-akhir ini Mendikbud merencanakan penyederhanaan kurikulum dan mengenalkan program “Merdeka Belajar” dengan empat kebijakan yakni, akan tetapi kedua hal tersebut mengundang pro-kontra dan masih sebatas rencana yang harus dikaji lebih dalam.

Kedua yaitu salah satu tugas pemerintah adalah pemerataan distribusi tenaga pendidik. Dari segi penyebaran, tercatat bahwa kekurangan guru untuk perkotaan, pedesaan dan daerah terpencil masing – masing 21%, 37% dan 66%. Akibatnya, banyak guru yang mengajar lebih dari satu mata pelajaran di luar bidangnya. Kurangnya pemerataan tenaga pendidik juga mengakibatkan perbedaan pengetahuan yang didapat di desa dengan di kota, mereka yang berada di kota akan mempunyai lebih banyak kesempatan untuk mengeksplorasi ilmunya dengan mengikuti berbagai bidang lomba. Motivasi yang mereka dapatkan juga jauh berbeda, pengalaman dari penulis bahwa banyak rekan yang tidak melanjutkan pendidikannya setelah lulus SD dan SMP dikarenakan mereka berparadigma bahwa cepat kerja lebih baik daripada membuang waktu dan uang dengan melanjutkan sekolah. Selain itu, bagi penulis hal ini bukan semata kekurangan guru, akan tetapi kurang pemerataan dan pemberdayaan guru – guru lokal terutama di daerah 3T yaitu terdepan, terluar dan tertinggal. Beberapa tahun terakhir pemerintah mengadakan program untuk menyebarkan tenaga pengajar ke daerah 3T, akan tetapi kurang efisien karena hanya bertahan satu hingga dua tahun. Itulah mengapa pemberdayaan guru lokal sangat penting karena mereka yang telah paham akan kondisi geografis, budaya sekitar dan mereka dapat mengajar dengan bahasa ibu.

Ketiga adalah kualitas pendidik, berdasarkan survei UNESCO kualitas pendidikan negara – negara berkembang di Asia Pasifik, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara dan mendapat peringkat 14 dari 14 negara berkembang untuk kualitas gurunya. Seringkali guru hanya sebatas mengajar menggunakan metode kuno tanpa memahami apa sebenarnya kebutuhan peserta didik, apa bakat dan minatnya. Ini menyebabkan peserta didik kurang merasa nyaman dalam mengikuti pembelajaran. Guru minim menanamkan pendidikan karakter, seperti kejujuran, keuletan dan pantang menyerah dalam belajar. Kasus bocoran kunci Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) misalnya, hal tersebut menunjukkan bahwa sekolah tidak percaya diri dengan mutunya. Jika kecurangan saja telah ditanamkan di sekolah, maka tak menutup kemungkinan peserta didik akan curang dalam menghadapi masa depannya, bukan?. Peserta didik layaknya kertas putih bersih, pena diibaratkan seorang guru dan tangan yang menulis adalah pemerintah. Peserta didik bersih tak berdosa, ia mengikuti apa saja yang diajarkan guru dan yang diatur pemerintah, serta tak menutup kemungkinan bahwa dalam beberapa kasus peserta didik menjadi korban di dalamnya. Mengingat kita berada di era revolusi industri 4.0, sudah saatnya guru bukan menjadi narasumber utama, melainkan sebagai pendamping, motivator dan fasilitator.

Ritme pendidikan memang dinamis, sedikit menorehkan opini untuk mengatasi problematika di atas. Pertama, sedikit demi sedikit merubah kurikulum menjadi lebih sederhana namun aplikasinya optimal, misalnya mengubah paradigma pengajaran berbasis sistetik-materialistik dengan creative-religious dengan tujuan guru dan peserta didik tak melupakan prinsip agama mereka dalam dunia akademik. Kedua, mengadakan studi atau penelitian di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) dan penambahan program pemerataan guru lokal yang terfalisitasi sesuai kadar 3T di daerah tersebut, sehingga tidak ada yang merasa dirugikan baik pemerintah, guru ataupun peserta didik. Ketiga, guru harus mengobservasi kebutuhan peserta didik, sesuai kata Mendikbud Nadiem Anwar Makarim bahwa hal utama sebelum memulai pelajaran adalah ikatan batin antara guru dan siswa harus terkoneksi terlebih dahulu. Menjadi guru tak selalu serius, terapkan outdoor class dan memanfaatkan benda sekitar sebagai media realia, berilah ice breaking sebagai apersepsi agar meminimalisir kebosanan. Maka “Cintai profesimu, muridmu, bangsamu, maka pengabdianmu akan sempurna”. Pemerintah dan pejuang pendidikan harus satu pemahaman bahwa peserta didik dikatakan telah belajar apabila seiring berjalannya waktu cara berpikir mereka berubah dan dapat mengaplikasikan apa yang dipelajari. Terakhir, wajib bagi orang tua tegas dalam memperhatikan bagaimana lingkup pergaulan anak, terutama pengaruh game atau gadget, apakah seimbang dengan cara mereka belajar? Atau mereka dikendalikan oleh alat itu sendiri?

Ketika kita ingin membuat perubahan yang besar, mulailah dengan perubahan- perubahan kecil secara berkala. Mengevaluasi diri dengan memahami peran aktif kita di lapangan. Jika kita adalah guru maka pikirkan bagaimana metode agar murid lebih giat dan tertarik, jika kita peserta didik maka seriuslah dalam belajar, dan jika kita adalah pemerintah maka tingkatkan kepedulian dengan sering terjun untuk melihat pendidikan nyata di daerah terpencil maupun perkotaan, banyak sosialisasi dengan unit sekolah untuk merekam permasalahan di hiruk pikuk pendidikan saat ini sehingga bersama – sama dapat mengatasinya. Dengan adanya pandemi Covid 19 memaksa pejuang pendidikan untuk berinovasi terhadap metode apa yang cocok untuk diaplikasikan dan hal yang harus dibenahi dari awal adalah tiga masalah yang telah disampaikan penulis.

 

Referensi

Ali, M.Nur. 2018. Peringkat Pendidikan Indonesia dan Budaya Buruknya. Diakses pada 9 Mei 2020,             (https://siedoo.com/berita-4965-peringkat-pendidikan-indonesia-dan-budaya-buruknya/)

DW. 2019. Survei Pendidikan Dunia. Diakses pada 9 Mei 2020, https://www.vivanews.com/berita/dunia/23062-survei-pendidikan-dunia-indonesia-peringkat-72-dari-77-negara?medium=autonext

Tribunnews. 2019. Daftar Peringkat Pendidikan Dunia. Indonesia Tertinggal Jauh dari Brunei dan Malaysia, Mengapa?. Diakses pada 9 Mei 2020, https://www.tribunnews.com/internasional/2019/12/04/daftar-peringkat-pendidikan-di-dunia-indonesia-jauh-tertinggal-dari-malaysia-dan-brunei-mengapa?page=all

Rijal. 2016. Kurikulum dan Permasalahannya. Diakses pada 9 Mei 2020, https://www.rijal09.com/2016/03/v-behaviorurldefaultvmlo_8.html

Kemendikbud. 2020. Merdeka Belajar. Diakses pada 9 Mei 2020. https://gtk.kemdikbud.go.id/read-news/merdeka-belajar

Shared:
Artikel