Media sebagai Sarana Informasi atau Komersialisasi?

Media sebagai Sarana Informasi atau Komersialisasi?
Oleh : Alfajri Ula Ashfarina

 

“Internet membuat umat manusia seperti hidup dalam sebuah kampung global (global village)”

- Mc Luhan

Perkembangan teknologi dengan adanya media-media baru seolah memaksa masyarakat untuk melakukan penyesuaian dalam pemenuhan kebutuhan hidup, sehingga mempengaruhi faktor sosial dan ekonomi masyarakat. Teknologi yang didukung dengan percepatan informasi dan mode berdampak pada pola hidup sehingga mengakibatkan terjadi perubahan dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Dewasa ini teknologi menjadi salah satu topik yang memiliki daya tarik tinggi sebab terdapat indikasi adanya pergeseran atau perubahan karakteristik komunikasi dalam masyarakat. Teknologi yang disediakan dalam bentuk media massa, dalam hal ini internet sebagai media dan diiringi dengan perkembangan perangkat yang memudahkan dalam mengakses konten yang beragam secara spesifik berdasarkan minat, dibagikan secara langsung, serta bebas untuk menyajikan pemberitaan situasi terkini.

Media massa memiliki peran yang penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa serta diharapkan mampu mengubah gaya hidup masyarakat konsumtif menjadi masyarakat yang logis. Media massa diekspetasikan sebagai ruang publik untuk menyampaikan gagasan, pemikiran secara bebas sehingga menjadi opini publik itu sendiri. Keberadaan media memberikan rasa dilematis antara kepentingan publik dan kepentingan bisnis segelongan orang, sebab realita ruang publik yang tidak berkualitas tidak dapat dipungkiri. Dominasi terhadap ruang publik yakni dengan adanya pengkavlingan yang sengaja dipesan dan dipenuhi dengan kepentingan pemilik media, pemodal, politisi, dan pengiklan.

Menurut riset platform manajemen sosial media HootSuite dan agensi marketing We Are Sosial, masyarakat Indonesia yang telah terhubung dengan internet di tahun 2020 sebesar 64% dari jumlah penduduk. Pengguna internet di Indonesia rata-rata terdapat pada rentang usia 16 hingga 64 tahun. Berdasarkan waktu penggunaan, Indonesia menempati posisi ke-8 sebagai negara yang kecanduan internet.

Fenomena penyajian informasi hanya untuk memenuhi isu tren pasar yang berkembang agar bisa bersaing dengan pesaing bisnis dan media yang lain. Konten berkualitas yang edukatif sangat jarang ditemui dimedia massa Indonesia, konten yang disediakan tidak lain adalah pertikaian, intrik, gimik, hoax menjadi warna yang kontras dalam perkembangan media yang menyajikan pemberitaan dengan berat sebelah, tidak objektif dan eksploitir terhadap salah satu pihak yang mengarah pada kebaikan atau keburukan saja.

Negara demokrasi seharusnya mampu memberikan ruang publik sebagai alat komunikasi massa bagi masyarakat untuk merealisasikan hak kewarganegaraannya meliputi infomasi yang benar, kebebasan berpendapat, bergerak dan berpikir. Akan tetapi fenomena yang terjadi, ruang-ruang tersebut sudah padat oleh program-program berbasis viral dan eksis (rating) dengan mengabaikan pesan moral dan etika yang berlaku di masyarakat. Penggambaran kasus media massa yang nampak jelas yaitu pada pesta politik dengan jelas menampilkan adanya perbedaan pada quick count yang termuat dalam televisi, media cetak maupun lembaga survey. Berdasarkan hal tersebut dapat dinilai bahwa terdapat pelanggaran kode etik jurnalistik yang dengan jelas didukung oleh perusahaan. Pers sebagai penyaji infomasi tidak dapat dilepaskan dari intrik dan drama kepentingan diluar idealismenya, melainkan tuntutan independensinya terhadap publik atau tekanan oleh kepentingan bisnis yang perlu dipertanyakan kembali keberpihakannya.

 Hal tersebut akan mudah menjadikan pola hidup masyarakat yang konsumtif bukan masyarakat berkualitas akan informasi. Sebab warga negara dipandang sebagai konsumen yang memerlukan informasi trendy yang dapat meningkatkanrating pihak yang bersangkutan. Karakter media telah berubah, namun peran dan fungsinya untuk merefleksikan kondisi masyarakat dan mediasi publik harus tetap melekat meskipun dalam hal kebijakan regulasi belum mampu mengiringi pertumbuhan bisnis dalam media.

Perjalanan dari perkembangan media terbaru mempengaruhi karakter komunikasi massa yakni menjadi aktif dan kritis. Media baru dalam hal ini adalah digitasilasi telah memberikan ruang publik yang terbuka untuk keterlibatan aktif warga negara dengan batasan-batasan ideal yang telah ditentukan. Akan tetapi kebijakan media yang belum mampu meregulasi industri media, terlebih produk yang disajikan hari ini lebih mengarah kepada nilai komersial dan sangat minim nilai pendidikannya. Berdasarkan hal tersebut, dalam meminta pemerintah memformulasikan kebijakan perlu disadari bahwa ada ancaman potensial dari pemenrintah sendiri, sebab seringkali proses pembuatan kebijakan menjadi arena pertarungan dari kelompok berkepentingan untuk mempengruhi kebijakan.

Berdasarkan permasalahan diatas dalam hal ini pembuktian sikap aktif dan kritis warga negara dituntut untuk mengambil peran lebih akif dalam memastikan dan dalam menjalankan haknya atas media, dalam mengakases infrastuktur, mengakses konten, serta proses pembuatan kebijakan media. Sementara itu, pembuat kebijakan juga perlu mempertajam perspektif dalam pengelolaan media dan mengkombinasikan aspek kegunaan media. Media harus diupayakan untuk berdiri sendiri tanpa adanya tekanan atau intervensi dari pihak yang berkepentingan.


 

Shared:
Artikel