Viral Tanpa Moral

Viral Tanpa Moral
oleh: Miftachul W. Abdullah

Kian hari beragam kemajuan teknologi kita rasakan. Berkat kemajuannya wajah kehidupan kita pun berubah. Bekerja, berbelanja, belajar, berlibur, hingga berkarya.

Wajah Baru

Dahulu, cita-cita menjadi seorang guru, tentara dan dokter adalah idaman semua orang. Hari ini cita-cita turun-temurun itu sedikit bergeser. Anak muda saat ini, sebut saja ‘pemuda zaman now’ memiliki cara unik untuk meng-improvisasi diri.

Jauh sebelum Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) hadir dan mewarnai kehidupan kita. Sehingga dalam setiap hal dan aktivitas memaksa kita untuk stay at home &work from home, sebagian orang sudah lama melakukan hal demikian.

Sebagian orang masih bingung mencari pekerjaan, sebagian orang bingung mencari pekerja. Sebagian yang lainnya bekerja dari rumah atau bahkan kamarnya sendiri. Pemuda-pemudi kreatif kita saat ini, sudah berhasil mengubah kamar kecilnya menjadi kantor, studio, sekaligus tempat istirahat yang bisa menghasilkan uang jutaan bahkan miliaran rupiah per-bulan.

Perubahan ini mungkin tidak pernah terpikirkan oleh, mohon maaf, generasi old. Sebagaimana orangtua atau kakek nenek kita. Saking cepatnya perubahan ini, orangtua yang masih adaptasi dengan smartphone bertombol, generasi mudanya sudah memakai smartphone tanpa tombol dan memakai fingerprint. Makna sukses pun nampaknya telah berubah pula seiring berubahnya sinyal 3G menjadi 4G. Dari menjadi guru dan tentara menjadi ‘selebgram’ dan ‘youtubers’.

Salah Personal Branding                     

Ayah Ibu kita masih bingung memakai medsos, sedangkan kita bingung menambah followers dan subscribers. Ini realitanya. Sehingga orangtua kalah cepat mengiringi langkah putra putrinya. Bahkan mungkin mereka tak tahu apa yang sedang dilakukan anak nya diluar sana (dunia maya).

Hal ini memicu generasi mudanya untuk mem-branding diri mereka sendiri tanpa iringan orangtuanya. Mungkin juga tanpa mentor yang jelas. Semua hal bisa dilakukan sendiri atau ‘autodidak’ bermodalkan tutorial.

Sayangnya hal demikian menjadikan dirinya kurang memahami nilai-nilai luhur dimasyakat. Etika bermedsos dan konten yang dibuatnya pun tak sejalan dengan ajaran agamanya.

“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islami adalah rasa malu.”(HR. Ibnu Majah)

Viral Asal-asal

Menjadi terkenal tidak harus menjadi banci kan? Tidak harus pula membuat kebohongan dan jebakan berupa ‘prank’? atau juga yang mengandung unsur pornografi kan? Hari ini marak kita saksikan menjadi banci seolah hal yang menjanjikan. Padahal sebenarnya adalah menjijikkan. Hanya karena ambisi terkenal, seolah-olah tak berakal.

Ada pula yang membuat konten prank sembako berisi sampah di tengah-tengah kondisi masyarakat yang sedang susah. Justru bukan saja sembakonya yang sampah. Jelas-jelas isi kontennya yang sampah. Apakah dia salah? Nanti kita temukan jawabannya. Maka yang demikian ini membuat kita sadar, bahwa menjadi terkenal tak semudah dan seinstan itu. Lalu apakah dengan konten tersebut dia terkenal? Ya, terkenal. Tapi apa faedah dari ke-terkenalannya? Bagaimana nilai kebermanfatannya?

Iming-iming menjadi endorsment dan mendapat monetize yang menggiurkan membuat pemuda-pemudi kita memutar otak, ‘bagaimana saya bisa berkarya?’ Tetapi sayangnya karya itu masih perlu diarahkan dan direvisi kembali. Tak asal publikasi.

 Memahami karya berarti memahami nilai-nilai, moral, dan akhlak. Ini adalah yang terpenting dalam membuat sebuah karya. Agar tidak melukai hati oranglain pada akhirnya. Atau merusak jiwa dan karakter penikmatnya.

Membangun Nilai

“Orang muslim yang baik adalah membuat muslim lainnya aman dari gangguan ucapan dan tangannya, dan orang yang hijrah (termasuk kelompok muhajirin) adalah yang meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah.”(HR. Bukhari)

Membuat karya tidak sekedar suka-suka. Asal dapat uang, aku pun senang. Kesadaran bahwa mencari keuntungan dari media sosial harus diiringi dengan norma sosial. Tak mengapa memberikan bantuan agar oranglain senang. Baiknya tak diawali dengan isak tangis orang yang di prank.

Kembali membuat konten kreatif selain banci dan prank pun masih banyak yang bisa digeluti. Tak asal lucu-lucuan untuk menambah followers dan subscribers. Tak harus juga yang berbau unsur pornografi agar menarik orang untuk memencet tombol sukai.

Konten yang viral tidak harus diawali dengan parodi shalat dijogeti, atau panjat sosial sana-sini. Justru membuat konten gaming masih lebih baik dan banyak digemari daripada konten prank dan mengubar diri. Tetapi tetap harus memperlihatkan penampilan yang sopan dan tidak seronok. Pun juga menjaga perkataannya yang tidak sarkas.

Rasa ingin diakui dan memiliki eksistensi dimata publik adalah keniscayaan sejak adanya media sosial. Hal ini seolah menjadi kasta tersendiri. Mungkin bangga jika memiliki pengikut dan penggemar yang banyak. Namun sangat penting memperhatikan etika dan moral yang ada.

Jangan sampai dengan konten yang kita sajikan membuat perpecahan, merusak kepribadian dan citra diri sendiri. Jika demikian banyak pihak yang akan dirugikan. Maka hal utama yang harus diperhatikan dalam bermedia sosial adalah kebermanfaatan. Tidak hanya modal ketenaran. Sebab sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.


 

Shared:
Artikel